BISNIS DAN POLITIK: INTERAKSI NEGARA- MASYARAKAT DALAM PERUMUSAN KEBIJAKAN

 Tipologi proses kebijakan
Ada banyak pakar yang menawarkan bentuk dari proses kebijakan. Pertama, pembagian menurut Laswell yang membagi proses kebijakan menjadi tujuh tahap, yaitu intelligence, promotion, prescription, invocation, application, termination dan appraisal. Kedua, menurut Rose yang membaginya mejadi dua belas tahap, yaitu public recognittion of the need for a policy to exist, how issues are placed on the agenda of public controvercy, how demands are advanced, the form of government involved in policy-making, resources and constraints, policy decisions, what determines governmental choice, choice in its context, implementation, outputs, policy evaluation and feedback. Sementara itu, Jones membagi proses kebijakan menjadi sebelas tahap, yaitu persepsi, agregasi, organisasi, representasi, penyusunan agenda, formulasi, legitimasi, penganggaran, implementasi, evaluasi dan penyesuaian/ terminasi (Parsons, 1977 dalam Putra, 2001) .


Namun demikian pada dasarnya semua itu dapat dikelompokkan menjadi empat tahap, yaitu pertama, bagaimana masalah-masalah yang ada bisa masuk ke ruang pemerintah, kedua, tahap bagaimana pemerintah melakukan tindakan-tindakan konkret menyikapi masalah-masalah tersebut. Ketiga, tahap tindakan-tindakan pemerintah itu masuk ke masalah lapangan dan keempat adalah tahap kembalinya program ke pemerintah agar ditinjau kembali dan diadakan perubahan-perubahan bila dianggap mungkin. Dalam kenyataannya, permasalahan proses kebijakan sangat dipengaruhi oleh kompleksitas politik sehingga tidak mungkin berjalan sedemikian idealnya. Hal ini disadari bahwa proses kebijakan itu sebenarnya juga sebuah proses politik. Sehingga segala kompleksitas persoalan yang muncul ditingkatan politik juga ditemui pada tingkatan kebijakan publik. Dalam menjelaskan hal ini, Howlett dan Ramesh (1995) mengembangkan sebuah model untuk menjelaskan keragaman gaya atau tipologi kebijakan yang dilaksanakan pada beberapa negara di Eropa.

Gaya kebijakan itu merupakan hasil interaksi dari a) pendekatan yang digunakan pemerintah dalam memecahkan maslah (anticipatory or reactive) dan b) keterkaitan antara pemerintah dan aktor lain dalam proses kebijakan (consensus or imposition). Kategori ini masih sangat umum, artinya tidak mesti keseluruhan kebijakan yang ibuat di Inggris misalnya, akan bergaya negosiatif, demikian pula bagi negara lain. Oleh karena itu dikembangkan model yang lebih rinci, untuk menjelaskan pilihan tipologi pada masing-masing tahap. Pada model ini dijelaskan bahwa tipologi kebijakan pada fase penyusunan agenda (agenda setting) itu ditentukan oleh bagaimana pola dukungan dari publik dalam pendefinisian masalah (oleh karena itu bisa bersifat inisiatif dari luar, inisiatif dari dalam, konsolidasi atau mobilisasi). Pada fase formulasi kebijakan, tipologi kebijakan ditentukan oleh aturan atau pola interaksi dari subsistem kebijakan (oleh karena itu bisa bersifat hegemonik, perintah, kepemimpinan kecil atau anarkis). Pada fase pembuatan keputusan, tipologi kebijakan atau gaya kebijakan ditentukan oleh kompleksitas ari subsistem kebijakan (oleh karena itu bisa bersifat inkremental, pemuasan, optimisasi atau rasional). Pada fase implementasi kebijakan, tipologi kebijakan ditentukan oleh kompleksitas dari sub sistem kebijakan dan kapasitas administrasi dari ruang lingkup kebijakan yang bersangkutan (oleh karena itu bisa bersifat berbasis pada pasar, peraturan, mempengaruhi secara halus atau kesukarelaan). Sedangkan fase evaluasi, tipologi kebijakan juga tergantung pada kedua hal di atas (Howlett dan Ramesh, 1995).

Berdasarkan tipologi yang termaktub dalam tabel maka Hawlett dan Ramesh, menyimpulkan bahwa tipologi kebijakan suatu wilayah kebijakan ditentukan oleh dua variabel, yaitu 1) struktur dari subsistem kebijakan dan 2) otonomi negara. Termasuk dalam struktur dari subsistem kebijakan adalah, sebaran ide-ide yang ada dan faktor-faktor yang ditemui dalam kebijakan tersebut. Sedangkan yang termasuk dalam otonomi negara adalah kapasitas administrasi dan sifat dari potensi penghalang dari pengoperasian kebijakan tersebut. Dengan mengetahui tipologi atau gaya kebijakan maka dapat menjelaskan karakter kebijakan (begitu juga karakter politik) sebuah negara.

Beberapa faktor yang mempengaruhi perumusan kebijakan
Merumuskan kebijakan, bukan masalah yang sederhana karena para perumus atau pengambil keputusan tersebut tidak terlepas dari pengaruh berbagai kepentingan yang ada, baik kepentingan sendiri, kerabat, patron, serta kepentingan masyarakat yang lebih luas. Apakah kepentingan ekonomi, politik, prestise, ataukah kepentingan yang lainnya yang lebih kompleks. Idealnya perumusan kebijakan harus didasarkan pada pertimbangan rasionalitas dan terbebas dari vested interest tertentu dalam masyarakat para pengambil kebijakan itu sendiri, sehingga kebijakan yang dihasilkan benar-benar mencerminkan atau mewakili keinginan dan kepentingan serta kebutuhan masyarakat banyak dan bukan orang per orang atau kelompok orang tertentu saja. Namun dalam praktiknya memang tidak sesederhana itu,karena suatu kebijakan tidaklah dirumuskan dalam suatu ruangan yang hampa politik, sehingga rumusannya benar-benar terbebas dan steril dari berbagai kepentingan. Untuk itu yang dapat dilakukan adalah bukannlah menghilangkan sama sekali berbagai pengaruh tersebut, tetapi mengeliminasi sekecil mungkin. Menurut Felix A. Nigro (1980) ada sejumlah faktor yang secara umum dapat mempengaruhi proses kebijakan. Pertama, adanya tekanan dari luar. Di sini berarti kebijakan harus mempertimbangkan alternatif yang akan di pilih berdasarkan penilaian rasional semata, namun proses dan prosedurnya tetap tidak dapat dipisahkan dari dunia nyata, yakni selalu adanya tekanan dari luar lingkaran pengambil keputusan. Tekanan ini dapat berasal dari individu, kelompok atau organisasi sosial politik, ekonomi dan kemasyarakatan serta lembaga domestik maupun internasional. Kedua, adanya kecenderungan para perumus kebijakan untuk mengikuti kebiasaan para pendahulunya (konservatif).

Ketiga, adanya nilai-nilai pribadi/individu dari perumus kebijakan. Faktor ini sangat berkaitan erat dengan upaya untuk melindungi dan mengembangkan kepentingan ekonomi, reputasi dan kedudukan, termasuk sejarah seseorang. Keempat, pengaruh kelompok/lembaga lain. Di dalam pemerintahan pengaruh lembaga lain kerapkali berperan dan bahkan tidak jarang menentukan dalam proses perumusan kebijakan, terutama sekali jika kebijakan yang diambil memiliki keterkaitan yang erat dengan sektor-sektor lainnya. Oleh karena itu, lingkungan sosial dalam pemerintahan seringkali menjadi pertimbangan dengan tujuan untuk menciptakan koordinasi antarinstansi dan menghindari lemahnya koordinasi dan inkonsistensi kebijakan.
Kelima, pengalaman masa lalu atau sejarah. Dalam kaitan ini ada anggapan bahwa kebijakan yang lalu merupakan pelajaran berharga untuk dijadikan sebagai acuan. Pada umumnya, memang suatu kebijakan dibuat berdasarkan pada keberhasilan maupun kegagalan penerapan kebijakan yang diambil lebih merupakan pengulangan dari pengalaman masa lalu dan hanya sedikit perbaikan di sana sini, sehingga tidak ada terobosan yang baru dan bersifat lebih segar (fresh).

Model-model proses perumusan kebijakan
Menurut Bruno S. Frey (1988) memang terdapat peluang untuk mempengaruhi berbagai kejadian ekonomi melalui berbagai langkah politik, namun intervensi kebijakan ekonomi tersebut harus dilakukan dengan cara yang sangat cermat dan hati-hati. Terdapat beberapa model yang digunakan dalam proses perumusan kebijakan yaitu pertama; model korporatisme dan korportisme negara. Dalam strategi yang korporatis ini, menurut J.A. Malloy (1974) pemerintah sengaja membentuk berbagai organisasi sosial politik dan kemasyarakatan yang para pemimpinnya secara sistematis ditentukan oleh pemerintah dengan jalan mengatur prosedur yang harus dilaluinya. Organisasi sosial ini biasanya dibentuk berdasarkan pada pengelompokan yang lebih bersifat fungsional vertikal daripada berdasarkan kriteria horizontal. Adapun pertimbangan utama dari penerapan strategi ini adalah untuk mempermudah pemerintah dalam mengontrol artikulasi kepentingan dalam masyarakat, sehingga cara-cara penyampaiannya juga diatur oleh pemerintah.

Konsep ini tidak jauh berbeda dari apa yang dikemukakan oleh Alfred Stephen (1978), yang menyatakan bahwa korporatisme merujuk pada seperangkat kebijakan dan organisasi perwakilan kepentingan yang keberadaannya sengaja diciptakan oleh pemerintah, kemudian diatur atau di kontrol dan diberikan monopoli serta hak-hak khusus berdasarkan garis organisasinya. Kedua, model kepolitikan yang birokratis. Karl D. Jackson (1978) menerapkan konsep yang sama dengan Fred W. Riggs dalam melihat di Thailand (1966) yakni bureaucratic polity. Menurut Jackson, Thailand dan Indonesia memiliki kemiripan dan kehidupan politik kenegaraan. Hal ini karena berbagai keputusan penting hanya terbatas pada para penguasa negara, terutama militer dan pejabat birokrasi. Adapun konsep masyarakat politik yang birokratik memiliki ciri yaitu; a) lembaga politik yang didominasi oleh birokrasi, b) lembaga-lembaga politik lainnya seperti parlemen, partai politik dan kelompok kepentingan, semuanya lemah dan tidak mampu melakukan kontrol terhadap birokrasi, dan c) massa di luar birokrasi secara politis dan ekonomis adalah pasif, sehingga menyebabkan lemahnya peran partai politik dan konsekuensinya sekaligus memperkuat peranan birokrasi. Ketiga, Model State-Qua-State oleh Anderson (1983) lebih melihat pada kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah lebih mewakili dan mencerminkan kepentingannya sendiri dari kepeningan masyarakat yang memiliki kedaulatan, kecuali terhadap kepentingan para pemodal asing. Negara dilukiskan sebagai egois (self serfing) dan serakah (self aggrandizing). Model ini juga diartikan sebagai otonomi negara (state autonomy), dengan tekanan utama adalah kebebasan negara dari tuntutan masyarakat.
Konsep ini memiliki tiga akibat cara pandang; a) berkaitan dengan konsepsi negara mempunyai bobot atau menang atas tekanan yang datang dari masyarakat. Dalam hal ini, pemimpin negara mempunyai kepentingan sendiri yang berbeda dengan kepentingan masyarakat. Pemimpin negara menolak berbagai tuntutan dari masyarakat dan sebaliknya memaksakan kehendaknya pada masyarakat, b) tindakan negara sama sekali tidak dapat dikontrol atau ditentukan oleh kekuatan kelompok atau bahkan koalisi manapun, dan c) terutama berkaitan denagan kemampuan negara dalam menangkal berbagai tekanan dari masyarakat tersebut. Cara pandang ini erat kaitannya dengan literatur strong state – weak start. Keempat, model pluralisme dan pluralisme terbatas. Model ini dapat berwujud sebagai bereaucratic pluralism dimana dalam pembuatan kebijakan, bargaining politik terjadi tidak hanya dalam rangka memperebutkan kebutuhan materi dan kekuasaan semata, tetapi juga menyangkut substansi dari persoalan kebijakan. Namun demikian, pluralisme yang ada tersebut sifatnya masih elitis, artinya proses tawar menawar yang terjadi masih lebih mengenai kepentingan lingkaran elit dari pada berdasarkan pada kepentingan masyarakat, walaupun di antara mereka ada juga yang menaruh perhatian terhadap sejumlah aspirasi masyarakat. Dalam model pluralisme terbatas, kebijakan pemerintah sesungguhnya tidak kebal dari pengaruh luar, terutama dari kelompok di luar elite pemerintah.

Selain itu, kelompok media massa, cendikiawan, pejabat daerah, anggota parlemen, produsen dan konsumen semuanya hanya memiliki pengaruh atas kebijakan yang dibuat pemerintah. Munculnya pluralisme terbatas ini ternyata juta sejalan dengan perkembangan masyarakat dalam berdemokrasi.

PERTANYAAN UNTUK DISKUSI
1. Kemukakan kembali dan jelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi proses perumusan kebijakan.
2. Tuliskan berbagai model pengambilan kebijakan dari pemerintah. Menurut anda model manakah yang dapat dianggap tepat untuk menggambarkan mode; pengambilan keputusan/kebijakan di Indonesia. Jelaskan pendapat anda !

BACAAN YANG DIANJURKAN
Abdulsyani, 1994, Sosiologi; Sistematika, Teori dan Terapan, Penerbit Bumi Aksara, Jakarta
Gani, S.I., 1987, Pengantar Ilmu Politik, Ghalia Indonesia, Jakarta
Kuncoro, M, 2003, Ekonomi Pembangunan: Teori, Masalah dan Kebijakan, Edisi Ketiga, UPP AMP YKPN, Yogyakarta
Maran, R. R,. 2001, Pengantar Sosiologi Politik ; Suatu Pemikiran dan Penerapan, Rineka Cipta, Jakarta
Philipus, Ng., dan Aini, N., 2004, Sosiologi dan Politik, RajaGrafindo Persada, Jakarta
Putra, F, 2001, Paradigma Kritis Dalam Studi Kebijakan Publik; Perubahan dan inovasi kebijakan publik dan ruang partisipasi masyarakat dalam proses kebijakan publik, Penerbit Pusataka Pelajar dan Universitas Giri Surabaya, Yogyakarta
Rush, M dan Althoff, P., 1993, Pengantar Sosiologi Politik (terjemahan Kartini Kartono), RajaGrafindo Persada, Jakarta

Tentang PARMADI

Aktif sejak 1994 sebagai staf pengajar di jurusan IESP di FEB Universitas Jambi, saat ini ikutan nimbrung di Lab&POnline FEB Unja. Juga aktif di community Bank Sampah Bangkitku Kota Jambi sebagai TMKT.
Tulisan ini dipublikasikan di EKONOMI POLITIK. Tandai permalink.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *